Kamis, 31 Januari 2013

     AMDAL

    Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah sebuah kajian mengenai tentang dampak- dampak besar dan penting dari suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada suatu lingkungan hidup yang diperlukan bagi suatu proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan di Indonesia. AMDAL ini dibuat saat perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Yang dimaksud lingkungan hidup di sini yaitu aspek Abiotik, Biotik, dan Kultural. Dasar hukum dari AMDAL adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang "Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup".

Fungsi dari AMDAL :

1. Bahan bagi suatu perencanaan pembangunan dari suatu wilayah
2. Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha atau         kegiatan
3. Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha atau kegiatan
4. Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
5. Memberi informasi bagi masyarakat tentang dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha atau             kegiatan


   UKL & UPL

   Merupakan suatu pemantauan atau pengelolaan terhadap suatu usaha dan kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan dalam proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan kegiatan. Upaya Kelola Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) adalah salah satu instrument pengelolaan lingkungan yang merupakan salah satu persyaratan perijinan bagi pemrakarsa yang akan melaksanakan suatu usaha/kegiatan di berbagai sektor.

KASUS AMDAL 1:

Pelaku usaha dan pemerintah daerah dinilai masih mengabaikan masalah lingkungan. Hal ini terlihat dari masih adanya kawasan industri di Semarang yang beroperasi tanpa terlebih dahulu memenuhi kewajiban stu di Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Selain itu, sejumlah industri di Semarang juga masih banyak yang belum secara rutin, yaitu enam bulan sekali, menyampaikan laporan kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Semarang. “Kalau sebuah kawasan industri sudah beroperasi sebelum melakukan studi Amdal, Bapedalda tidak bisa berbuat apa-apa.

Kami paling hanya bisa mengimbau, tapi tidak ada tindakan apa pun yang bisa kami lakukan. Terus terang, Bapedalda adalah instansi yang mandul,” kata Mohammad Wahyudin, Kepala Sub-Bidang Amdal, Bapedalda Semarang, Kamis (1/8), di Semarang. Wahyudin menceritakan, kawasan industri di Jalan Gatot Subroto, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, misalnya, sejak beroperasi dua tahun lalu hingga saat ini belum mempunyai Amdal.

Padahal, menurut Wahyudin, salah satu syarat agar sebuah kawasan industri bisa beroperasi ialah dipenuhinya kewajiban melaksanakan studi Amdal. “Bapedalda berkali-kali menelpon pengelola kawasan industri tersebut, menanyakan kelengkapan dokumen Amdal mereka. Namun, sampai sekarang, jangankan memperoleh jawaban berupa kesiapan membuat studi Amdal, bertemu pemilik kawasan itu saja belum pernah,” ujarnya. Wahyudin menyayangkan sikap pihak berwenang yang tetap memberikan izin kepada suatu usaha industri atau kawasan industri untuk beroperasi walau belum menjalankan studi Amdal.

Menurut dia, hal ini merupakan bukti bahwa bukan saja pengusaha yang tidak peduli terhadap masalah lingkungan, melainkan juga pemerintah daerah. Sikap tidak peduli terhadap masalah lingkungan juga ditunjukkan sejumlah pemilik usaha industri ataupun kawasan industri dengan tidak menyampaikan laporan rutin enam bulan sekali kepada Bapedalda. Wahyudin mengatakan, kawasan industri di Terboyo, misalnya, tidak pernah menyampa ikan laporan perkembangan usahanya, terutama yang diperkirakan berdampak pada lingkungan, kepada Bapedalda.

Hal serupa juga dilakukan pengelola lingkungan industri kecil (LIK) di Bugangan Baru. Keadaan tersebut, menurut Wahyudin, mengakibatkan Bapedalda tidak bisa mengetahui perkembangan di kedua kawasan industri tersebut. Padahal, perkembangan sebuah kawasan industry sangat perlu diketahui oleh Bapedalda agar instansi tersebut dapat memprediksi kemungkinan pencemaran yang bisa terjadi. Ia menambahkan, industri kecil, seperti industri mebel, sebenarnya berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Namun, selama ini, orang terlalu sering hanya menyoroti industry berskala besar.

(Kompas, 2 Agustus 2002)
cc: http://medizton.wordpress.com/2010/01/07/contoh-kasus-amdal-kawasan-lingkungan-industri-kecil-di-semarang-kompas-2-agustus-2002/

  KASUS AMDAL2:

MAKASSAR: Sebanyak enam Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Makassar yang ditengarai melanggar Analisis Dampak Lingkungan lalu lintas dan memakai fasilitas umum dan fasilitas sosial prosesnya mengambang.
“Enam SPBU itu kan sudah melanggar amdal lalin, dan pelanggaran itu harus ditindak,” kata Kepala Dinas Perhubungan Makassar Chairul A. Tau di sela hearing dengan Komisi A Bidang Pemerintahan, DPRD Kota Makassar, Selasa
Menurut dia, seharusnya dinas terkait tidak serta merta mengeluarkan izin yang bertentangan dengan amdal lalin, sebab masyarakat pengguna jalan mengeluhkan karena sering kali terjadi kemacetan di area yang dimaksud.
“Salah satu satu dampak yang ditimbulkan adalah kemacetan. Karena mendirikan bangunan mengunakan lajur hijau,” tambahnya.
Pengguna jalan, Herman, mengaku kalau pihak Pertamina menyetujui keluarkan izin tersebut terkesan dipaksakan, sebab izin yang keluar tidak melalui mekanisme yang seharusnya.
Keluarnya izin pertamina untuk mendirikan SPBU tersebut diduga ada “main” dengan pihak perizinan seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Tata Ruang dan Perizinan sebagai hasil akhirnya.
“Macet di mana mana, ini kemungkinan gara-gara pembangunan yang tidak profesional. Masa jalur hijau juga dibanguni SPBU,” tandas dosen salah satu universitas swasta di Makassar ini.
Sebalumnya, External Relation PT Pertamina Region VII Sulawesi, Rosina Nurdin berkilah PT Pertamina berhak mengeluarkan izin pembangunan karena pemohon telah mengantongi izin prinsipil. Selain itu, bila dikatakan enam SPBU yang diduga telah mengunakan lahan Fasum dan Fasos, harus ada bukti kerena izin yang dikeluarkan dinas terkait sudah sah.
“Kami menerima pengajuan pembangunan SPBU itu sudah berdasar dengan dikeluarkannya izin prinsipil, jadi tidak ada masalah,” katanya.
Enam SPBU yang berada masing-masing pertigaan Jalan Racing Centre-Urip Sumoharjo, Sultan Alauddin, Sam Ratulangi, pertigaan Rappocini-AP Pettarani, Jalan Tinumbu dan Jalan Sultan Hasanuddin telah melanggar amdal lalin sehingga membuat kemacetan, dengan tidak mengindahkan rencana tata ruang dan wilayah di kota ini.

cc:www.bisnis-kti.com/index.php/2011/06/kasus-6-spbu-langgar-amdal-mengambang/

KASUS UKL&UPL1:

MAKASSAR, BKM — Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar akan melakukan uji legalitas terhadap dokumen UKL/UPL dan amdal tiga bangunan di Makassar–Plaza Tamalanrea, Hotel Bugis dan kampus Universitas Indonesia Timur (UIT). Uji legalitas dilakukan menyusul klaim berbeda yang disampaikan pihak Plaza Tamalanrea dengan Badan Lingkungan Hidup Kota Makassar. Manajemen Plaza Tamalanrea mengklaim telah mengantongi izin lingkungan sebagai syarat terbitnya UKL/UPL. Izin lingkungan diterbitkan sejak 2010.

Sementara BLH menyatakan belum pernah menerbitkan izin lingkungan untuk Plaza Tamalanrea, UIT maupun Hotel Bugis. Ketiganya telah disurati, namun belum direspons hingga sekarang.
“Karena itu harus dikonfrontir. Apa benar Plaza Tamalanrea sudah punya dokumen itu. Kita juga meminta BLH memberi penjelasan, soal klaim mereka. Kita mau tahu siapa benar siapa keliru,” terang Ketua Komisi A DPRD Makassar Yusuf Gunco
Menurut Yugo, permasalahan yang dihadapi Plaza Tamalanrea bersifat sistematis. Melibatkan bukan hanya BLH sebagai leading sektor, tetapi juga Dinas Tata Ruang dan Bangunan, Dinas Perhubungan serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
DTRB bertanggung terhadap terbitnya IMB kata Yugo. “Amdal inikan terbit sebagai dasar terbitnya IMB. Jadi mau tak mau jika ada masalah dalam legalitas amdal itu, DTRB juga harus bertanggung jawab,” katanya.
Begitu juga dishub. Dalam kajian lalu lintas sebagai bagian dari rangkaian terbitnya izin lingkungan, Dishub juga memegang peran penting. Hasil kajiannya menjadi dasar untuk terbitnya dokumen lingkungan.
Disperindag juga tak bisa lepas tangan. Plaza Tamalanrea adalah bangunan komersial yang secara formal harus berhubungan dengan disperindag untuk terbitnya izin-izin yang berhubungan dengan perdagangan.
“Jadi kalau izin-izin terbit sementara amdalnya ilegal, berarti disperindag juga harus dimintai klarifikasi,” katanya.
Karena itu pihaknya akan menjadwalkan pemanggilan terhadap instansi-instansi ini.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Makassar Kusayying, mengatakan, dokumen UKL/UPL yang diklaim sah dari Plaza Tamalanrea harus diteliti ulang.
Begitu juga dengan UIT dan Hotel Bugis harus diteliti agar dipastikan keabsahannya.
“Saya periksa dulu dik apakah memang ketiga bangunan itu sudah ada atau tidak,” kata Kusayying.
Kepala Bidang Tata Bangunan Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota makassar Agung Lahmuddin, mengatakan, Plaza Tamalanrea tidak mesti membuat amdal. Sebab luasan bangunannya hanya mewajibkan untuk menerbitkan UKL/UPL.
“Kita tidak bisa melakukan pemberhentian kegiatan pembangunan karena semua proses persyaratan sudah sesuai,” kata Agung.
Agung mengatakan, pertanggungjawaban DTRB hanya pada proses terbitnya IMB. Segala persyaratan untuk IMB tidak lagi merujuk pada legalitas formal yang harus dipatuhi pada instansi-instansi lain.
Akan tetapi pihaknya tetap menyambut baik jika DPRD menginginkan DTRB memberi klarifikasi atas persoalan ini. “Saya kira itu bagus, agar semua jelas. Soal IMB tidak ada masalah, kami menerbitkannya sesuai prosedur,” katanya.

cc: http://tempatbelajar.info/disperindag-dan-dtrb-juga-harus-bertanggung-jawab/


KASUS UKL&UPL2:

Maraknya pembangunan proyek besar di Surabaya yang berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti kemacetan dan banjir diduga karena diobralnya pembuatan dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL).
Pasalnya selama ini, UKL dan UPL yang diajukan pemrakarsa atau pemilik proyek sifatnya sangat normatif. Sehingga ketika ada kelurahan dari masyarakat ternyata proyek yang dibangun itu berdampak negatif, pemrakarsa baru kebingungan.
“Kondisi seperti itu sekarang ini sering terjadi. Penyebabnya, tak lepas dari banyaknya orang yang menawarkan menyusun UKL dan UPL dengan harga yang murah,” ujar Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Pemkot Surabaya, Ir Togar Arif Silaban MEng, dalam “Workshop Proses dan Implementasi Amdal” bagi wartawan yang diselenggarakan Lembaga Pengembangan dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) ITS Surabaya, Rabu (28/2).
Tetapi Togar tidak berani membeber berapa harga menyusun UKL dan UPL tersebut. Dia hanya mengatakan bahwa bahwa harga UKL dan UPL serta Amdal sesuai harga pasar. “Itupun masih tergantung seberapa dampak lingkungan yang akan timbul dan berapa jumlah tenaga ahli yang dibutuhkan membuatnya,” tukasnya.
Tapi Wakil Kepala Bapedal Jatim, Ir Dewi J Putriani MSc mengatakan untuk konsultasi publik UKL-UPL saja, dana yang harus dikeluarkan pemrakarsa antara Rp 500-750 juta. “Itu belum termasuk biaya lain-lainnya,” imbuh Dewi.
UKL adalah dokumen rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) yang telah disahkan oleh Komisi Penilai Amdal. Sementara UPL merupakan dokumen rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) yang telah disahkan. Dua dokumen ini, bersama dokumen analisis dampak lingkungan (Andal) biasanya diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai Amdal. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.
“Untuk UKL dan UPL, malah menjadi sangat penting, karena keberadaannya sangat diperlukan untuk proses pemberian izin selanjutnya seperti, IMB,” tukas Togar.
Tetapi pentingnya keberadaan UKL dan UPL tersebut ternyata tidak diimbangi dengan pemahaman yang memadai dari pemrakarsa. Kebanyakan pemrakarsa tidak paham betul apa maksud dan isi dari rekomendasi UKL dan UPL yang telah diperolehnya. Baru ketika terjadi masalah atau kasus dengan prooyek yang dibangunnya, pemrakarsa baru melihat, mempelajari dan memahami maksud UKL dan UPL.
Kondisi tersebut diperparah dengan minimnya pejabat pengawas yang punya kualifikasi mengawasi dampak pembangunan dari sisi lingkungan. Pasalnya untuk kota metropolis seperti Surabaya yang setiap tahunnya berdiri lebih dari 15 mal atau proyek baru, ternyata pejabat pengawas daerah yang dimiliki hanya empat orang.
Padahal dokumen Amdal/UKL-UPL 2002-2006 yang dirilis BPLH Pemkot menunjukkan, selama tiga tahun terakhir ini, jumlah UKL dan UPL yang dikeluarkan terus mengalami peningkatan.
Jika tahun 2004 hanya 88, tahun 2005 meningkat menjadi 135 dan tahun 2006 juga meningkat menjadi 163.
Karena itulah, Asisten Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan Kementrian Lingkungan Hidup, Ir Hermien Roosita MM minta agar di Surabaya mulai dilakukan kajian lingkungan strategis. Tujuannya, untuk mengetahui kapan mal dan industri tidak boleh dibangun di dalam kota.
“Itu penting karena Amdal, UKL dan UPL yang asal-asalan pasti dikemudian hari akan menimbulkan masalah. Apalagi dampak lingkungan dari sebuah proyek itu biasanya 10 sampai 15 tahun lagi,” tandas Hermien.