Rumah Gadang itu sudah tidak lagi utuh. Tapi melihat dari
bentuknya, dahulu merupakan bangunan yang sangatlah megah. Pilar-pilar yang menyangga masih kokoh berdiri. Kerangka atap yang membentuk suatu lekukan
tanduk kerbau juga masih bisa terlihat jelas. Namun apa daya ,
atap-atapnya sudah banyak yang rusak. Sementara dindingnya hampir tidak tersisa, habis dimakan oleh usia atau dibongkar paksa untuk dijadikan
material bangunan lainnya.
Di beberapa sudut bangunan Rumah Gadang yang besar, ada beberapa
pondokan atau rumah kecil ukuran 3 x 4 atau 4 x 4 meter yang dibangun begitu saja. Bentuknya menyerupai rumah liar yang banyak
terdapat di Batam. Di beberapa bagian dalam Rumah Gadang, ada juga
tumpukan sampah-sampah yang akan didaur ulang. Sebuah ruangan kecil
terbuat dari kaca fiberglass seperti ruang ATM, menjadi penanda tentang
siapa pemilik bangunan megah tapi terbengkalai itu, dulunya.
Dulu, bangunan megah itu dimilik grup Anrico
Bank. Sebuah grup perusahaan perbankan yang dimiliki kelompok pribumi
keturunan Minang. Sekarang sudah dilikuidasi oleh Badan Penyehatan
Perbankan Nasional atau BPPN sekitar tahun 1998. Gedung berbentuk rumah
adat itu, awalnya dibangun oleh salah satu anak perusahaan Anrico Bank,
PT Bunga Setangkai. Nama Bunga Setangkai itulah yang kini jadi penanda
nama lokasi ini; Komplek Bunga Setangkai.
Sayang, kehidupan di komplek Bunga Setangkai ternyata tidak seindah
namanya. Anda yang belum pernah ke lokasi ini janganlah membayangkannya
sebagai perumahan elit sekelas Dutamas atau Bukit Indah Sukajadi.
Komplek bunga setangkai hanyalah beberapa bangunan terbengkalai yang
saat ini diisi sekitar 76 kepala keluarga. Mereka mendiami
bangunan-bangunan yang terbengkalai itu dengan cara membuat sekat-sekat
sebagai pembatas ”rumah” yang satu dengan yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar